Pemerintah berencana melakukan pembatasan BBM bersubsidi
mulai 1 April di Jawa dan Bali. Kebijakan ini
sepertinya hanya akan bikin repot saja.
1.
Membatasi pembelian BBM jenis premium hanya
untuk kendaraan tertentu (roda dua) tentu membutuhkan mekanisme pengaturan dan
pengawasan. Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Evita Herawati Legowo bahkan mengakui untuk pengadaan dan pemasangan radio
frequency identification (RFID) di Mikrolet jurusan Kampung Melayu dan SPBU di
Matraman merogoh anggaran Rp3 miliar. Bayangkan untuk pengadaan dan pasang alat
tersebut di angkutan umum dan satu SPBU saja makan anggaran sebesar itu. Padahal
jumlah RFID yang akan dipasang banyak sekali. Apalagi mau dipasang di wilayah
Jawa-Bali, sehingga dibutuhkan anggaran sangat besar. Bisa triliunan rupiah (Pos kota, http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/10/21/alat-kendali-bbm-subsidi-rp3-miliar-ini-namanya-pemborosan).
Belum lagi kemungkinan penyelewengan dari kendaraan roda dua yang masih boleh
memakai premium (bisa bolak – balik ngisi premium untuk disedot dan dijual)
juga penjualan premium di kios pinggir jalan ( mungkin mau dilarang?) Bikin
repot saja!
2.
Pembatasan
BBM kemungkinan akan memicu bertambahnya jumlah kendaraan roda dua, bahkan
dengan cc yang semakin besar, ditambah penyelewengan pemakaian seperti diatas,
efektifitas penghematannya patut dipertanyakan sebab pemakaian BBM bersubsidi
akan tetap besar. Mobil Nasional (mobnas) murah juga ga ada manfaatnya lagi. Bikin
repot saja!
3.
Pemilik
kendaraan roda empat tidak melulu orang kaya, banyak masyarakat kecil yang
usaha mengharuskan penggunaan kendaraan roda empat (tahun 2000 ke bawah) seperti
pengangkutan hasil pertanian, kerajinan, catering dll. Jika harus memakai
pertamax yang harganya dua kali lipat tentu akan sangat memberatkan. Pemerintah
memang memberi alternatif penggunaan bahan bakar gas, tapi ini tentunya juga
membutuhkan biaya untuk memodifikasi kendaraan (kecuali pemerintah memberi ganti
biaya konversinya), keamanan pemakaiannya terutama untuk jalanan pedesaan yang
tidak bagus, dan juga tidak ada jaminan bahwa bahan bakar gas harganya tidak akan
naik. Elpiji 12 kg saja harganya masih naik, dan gas 3 kg masih disubsidi,
entah bahan bakar gas untuk kendaraan. Bikin repot saja!
4. Sarana
pendukung seperti SPBG (jika beralih ke bahan bakar gas)juga mesti disiapkan
dalam jumlah yang memadai, jika tidak kemungkinan akan menimbulkan gejolak
dalam masyarakat. Bikin repot saja!
5. Pembatasan
BBM tetap akan memicu inflasi, kenaikan harga – harga dan biaya transportasi,
sama saja halnya jika dilakukan kenaikan harga BBM. Bikin repot saja!
Lalu
apakah lebih baik jika harga BBM dinaikkan saja? Kayaknya sih lebih baik
dikombinasikan saja. Harga BBM dinaikkan sedikit secara berkala (Rp.500) dan
sarana dan prasarana pemakaian bahan bakar gas disiapkan sebagai alternatif
bagi masyarakat yang ingin beralih ke BBG. Jadi rakyat bisa berpikir sendiri memilih
alternatif yang terbaik, tetap memakai BBM, atau beralih ke BBG. Untuk itu juga
tidak diperlukan pengaturan dan pengawasan yang menghabiskan banyak biaya.