Sunday, January 8, 2012

Pembatasan BBM, Bikin Repot Saja!


Pemerintah berencana melakukan pembatasan BBM bersubsidi mulai 1 April di Jawa dan Bali. Kebijakan ini sepertinya hanya akan bikin repot saja. 

1.      Membatasi pembelian BBM jenis premium hanya untuk kendaraan tertentu (roda dua) tentu membutuhkan mekanisme pengaturan dan pengawasan. Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Evita Herawati Legowo bahkan mengakui untuk pengadaan dan pemasangan radio frequency identification (RFID) di Mikrolet jurusan Kampung Melayu dan SPBU di Matraman merogoh anggaran Rp3 miliar. Bayangkan untuk pengadaan dan pasang alat tersebut di angkutan umum dan satu SPBU saja makan anggaran sebesar itu. Padahal jumlah RFID yang akan dipasang banyak sekali. Apalagi mau dipasang di wilayah Jawa-Bali, sehingga dibutuhkan anggaran sangat besar. Bisa triliunan rupiah (Pos kota, http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/10/21/alat-kendali-bbm-subsidi-rp3-miliar-ini-namanya-pemborosan). Belum lagi kemungkinan penyelewengan dari kendaraan roda dua yang masih boleh memakai premium (bisa bolak – balik ngisi premium untuk disedot dan dijual) juga penjualan premium di kios pinggir jalan ( mungkin mau dilarang?) Bikin repot saja!

2.      Pembatasan BBM kemungkinan akan memicu bertambahnya jumlah kendaraan roda dua, bahkan dengan cc yang semakin besar, ditambah penyelewengan pemakaian seperti diatas, efektifitas penghematannya patut dipertanyakan sebab pemakaian BBM bersubsidi akan tetap besar. Mobil Nasional (mobnas) murah juga ga ada manfaatnya lagi. Bikin repot saja!

3.      Pemilik kendaraan roda empat tidak melulu orang kaya, banyak masyarakat kecil yang usaha mengharuskan penggunaan kendaraan roda empat (tahun 2000 ke bawah) seperti pengangkutan hasil pertanian, kerajinan, catering dll. Jika harus memakai pertamax yang harganya dua kali lipat tentu akan sangat memberatkan. Pemerintah memang memberi alternatif penggunaan bahan bakar gas, tapi ini tentunya juga membutuhkan biaya untuk memodifikasi kendaraan (kecuali pemerintah memberi ganti biaya konversinya), keamanan pemakaiannya terutama untuk jalanan pedesaan yang tidak bagus, dan juga tidak ada jaminan bahwa bahan bakar gas harganya tidak akan naik. Elpiji 12 kg saja harganya masih naik, dan gas 3 kg masih disubsidi, entah bahan bakar gas untuk kendaraan. Bikin repot saja!

4.     Sarana pendukung seperti SPBG (jika beralih ke bahan bakar gas)juga mesti disiapkan dalam jumlah yang memadai, jika tidak kemungkinan akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Bikin repot saja!

5.    Pembatasan BBM tetap akan memicu inflasi, kenaikan harga – harga dan biaya transportasi, sama saja halnya jika dilakukan kenaikan harga BBM. Bikin repot saja!

Lalu apakah lebih baik jika harga BBM dinaikkan saja? Kayaknya sih lebih baik dikombinasikan saja. Harga BBM dinaikkan sedikit secara berkala (Rp.500) dan sarana dan prasarana pemakaian bahan bakar gas disiapkan sebagai alternatif bagi masyarakat yang ingin beralih ke BBG. Jadi rakyat bisa berpikir sendiri memilih alternatif yang terbaik, tetap memakai BBM, atau beralih ke BBG. Untuk itu juga tidak diperlukan pengaturan dan pengawasan yang menghabiskan banyak biaya.